PEMBUBARAN lembaga-lembaga negara pada awal-awal reformasi dilakukan lantaran keberadaan mereka dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi. Maka, kehadiran lembaga-lembaga itu cukup dikenang dan dijadikan pelajaran, bukan untuk dikembalikan.
Tetapi, di penghujung masa jabatan, DPR RI periode 2020-2024 seperti ingin mengembalikan romantisme masa lalu, yakni dengan menghidupkan kembali lemba-lembaga era Orde Baru itu.
Pada Mei lalu, misalnya, DPR ditengarai mencoba mengembalikan Dwifungsi ABRI seperti era Orde Baru melalui revisi Undang-Undang (UU) TNI. Kecurigaan ini muncul sebab dalam revisi UU No 34 Pahamn 2004 tentang TNI terdapat frasa tentang penempatan prajurit TNI aktif di kementerian dan lembaga sebagaimana tercantum dalam Pasal 47 ayat 2. Pembahasan revisi undang-undang tersebut saat ini belum rampung.
Kini, DPR juga kembali memunculkan lembaga era Orde Baru, yakni Dewan Pertimbangan Akbar (DPA), melalui revisi UU No 19 Pahamn 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres). Seluruh fraksi di DPR sudah menyetujui RUU tersebut dibawa ke rapat paripurna dan menjadi usul inisiatif dewan. Lembaga baru tapi lama ini bakal mulai bekerja di era pemerintahan Prabowo Subianto. Personil DPA nantinya diangkat dan diberhentikan oleh presiden melalui keputusan presiden (keppres). Kedudukannya juga sejajar dengan kementerian dan lembaga lain.
Berbeda dengan Wantimpres yang tidak setinggi lembaga lain, dalam revisi itu juga dinyatakan bahwa nanti kedudukan DPA bakal sejajar dengan kementerian dan lembaga lainnya.
Sejatinya, DPA sudah dibubarkan bersamaan dengan dihapuskannya Bab IV soal DPA di UUD 1945 lewat amendemen keempat pada Agustus 2002 silam. Ketika itu, keberadaan DPA dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi. Sebagai gantinya dibentuklah Wantimpres yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden.
Apabila dinilai tidak sejalan dengan semangat reformasi, lalu apa urgensi dihidupkannya kembali DPA? Apalagi keberadaannya sejajar dengan kementerian dan lembaga lainnya. Lantas apa wewenangnya?
Tentu banyak pertanyaan yang muncul, plus kecurigaan juga. Jangan-jangan DPA ini dihidupkan untuk memberikan tempat dan mengakomodasi kepentingan berbagai pihak. Apalagi, berbeda dengan Wantimpres yang anggotanya dibatasi delapan orang, anggota DPA tidak terbatas.
DPA juga ditengarai untuk memberi panggung kepada mantan presiden. Kecurigaan ini tidak berlebihan mengingat nantinya DPA bakal sejajar dengan lembaga tinggi lainnya. Apabila hanya ingin menjadi tempat untuk memberikan pertimbangan kepada presiden atau semacam presidential club seperti di Amerika Perkumpulan, untuk apa posisinya harus setinggi lembaga negara lainnya? Apalagi pembahasannya seperti sistem kebut semalam dan langsung disetujui 9 fraksi di DPR.
Apakah pembentukan DPA ini menunjukkan DPR kurang literasi? Sudah jelas dalam UUD 1945 secara eksplisit disebutkan bahwa DPA dihapus. Memunculkan kembali DPA melalui revisi UU Wantimpres otomatis bisa dimaknai melawan amanat konstitusi. Apalagi, pembentukannya melalui undang-undang, yang kedudukannya lebih rendah daripada UUD 1945.
Apabila nanti akhirnya DPA tetap dibentuk, kita hanya berharap semoga lembaga ini bisa menjadi lokomotif bagi terciptanya figur-figur negarawan, sebab negeri ini tengah mengalami defisit negarawan dan surplus politisi. Negarawan adalah figur yang sudah selesai dengan dirinya, yang sudah tidak berharap bisa berburu rente kekuasaan maupun rente ekonomi.