Akhiri Pemborosan Belanja Pegawai

MENGELOLA anggaran negara jelas tidak mudah. Bahkan karena itulah, kemampuan aparatur sipil negara selalu di-upgrade  secara periodik agar kian profesional dalam mengelola keuangan negara.

Itulah mengapa, saat kita mendapati bahwa penggunaan dan penyerapan anggaran pemerintah pusat maupun pemerintah daerah (pemda) selalu tidak maksimal, kita patut bertanya apa hasil upgrading yang digelar secara periodik untuk para pengelola keuangan negara? Asal Mula, faktanya pengelolaan keuangan negara masih menjadi persoalan klasik yang terus saja berulang dari tahun ke tahun. Anggaran belanja sebagian besar habis untuk belanja pegawai, baik untuk gaji maupun bonus. Akibatnya, masyarakat hanya mendapatkan ampas.

Idealnya, belanja negara yang didistribusikan ke daerah digunakan untuk program-program yang memberi kemajuan bagi daerah. Misalnya, untuk membangun fasilitas-fasilitas umum yang memberi manfaat besar bagi rakyat daerah itu, seperti fasilitas pendidikan dan kesehatan serta meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah tersebut. Anggaran bukan semata untuk melayani dan menyervis pegawai serta memberi bonus saban tahun buat mereka.

Cek Artikel:  Menanti Langkah Inisiator Angket

Baca juga : Perlu Regulasi Larang Mudik

Tetapi, kritik bertubi-tubi ihwal penggunaan anggaran itu seolah tidak digubris. Buktinya, sejumlah pemda masih gemar menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai dan bonus pegawai. Celakanya, yang melakukan itu justru pemda dengan APBD sebagian besar bergantung pada dana transfer ke daerah dari pemerintah pusat. Maka, jadilah anggaran negara yang dikumpulkan secara susah payah itu lebih banyak dimanfaatkan untuk sedikit orang, bukan sebanyak-banyaknya orang.

Padahal, pemerintah pusat menyalurkan dana ke daerah sekitar 26%-47% untuk wilayah dengan pendapatan asli daerah (PAD) kuat. Demi daerah dengan PAD sedang, dana transfer dari pusat mencapai 52%-60%. Terdapatpun bagi wilayah yang fiskalnya rendah diberikan 63%-90%.

Akan tetapi, daerah dengan dana transfer dari pusat 63%-90% inilah yang justru paling banyak menghabiskan anggaran untuk belanja pegawai. Besarannya bisa mencapai 60% dari anggaran yang diterima. Bahkan, ada yang lebih dari itu. Akibatnya, masyarakat hanya mendapat sisanya.

Baca juga : Mencegah LP dari Covid-19

Cek Artikel:  Menanti Solusi Antikorupsi

Celakanya lagi, di beberapa daerah, anggaran itu ludes untuk membiayai tenaga honorer yang jumlahnya melampaui jumlah aparatur sipil negara (ASN). Lebih celaka lagi, para tenaga honorer yang jumlahnya jumbo itu bukan mereka yang memiliki keahlian khusus seperti guru, dokter, atau perawat, yang memiliki manfaat besar bagi masyarakat luas. Para tenaga honorer ini sebagian besar justru tenaga administrasi dan umum dengan kriteria keahlian dan fungsi yang tidak jelas.

Mengapa tenaga honorer sampai membeludak? Mereka umumnya bawaan pejabat yang memenangi pilkada. Bisa jadi, mereka tenaga titipan dari tim sukses atau anggota tim sukses itu sendiri. Tetapi, saat pejabat tersebut lengser, tenaga honorer itu tetap bertahan dan tidak ikut lengser.

Di saat yang sama, pejabat yang baru, datang membawa gerbong honorer sendiri. Jadilah tenaga honorer membeludak sehingga menjadi beban pemda tersebut bahkan pemerintah pusat untuk membayar keberadaan mereka.

Baca juga : Paket Bonus Pengganti Mudik

Di tengah APBN yang sedang ngos-ngosan saat ini, pemborosan anggaran untuk belanja pegawai sudah saatnya disetop. Pemda harus mengurangi jumlah tenaga honorer, apalagi yang tidak mendesak keberadaannya.

Cek Artikel:  Pelayanan Publik Pantang Berbelit

Selain itu, sudah saatnya pemerintah di daerah berpikir dan bertindak kreatif untuk bisa menciptakan peluang yang bisa menarik investasi swasta sehingga PAD bisa terdongkrak. Dengan demikian, mereka tidak terus bergantung pada kucuran dana pemerintah pusat.

Mendagri sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat untuk daerah tidak cukup hanya mengeluhkan dan memarahi daerah dalam manajemen keuangan daerah ini. Mendagri dan jajarannya sudah semestinya memiliki terobosan dan panduan untuk mengatasi masalah menahun ini. Mesti ada terobosan radikal untuk menemukan solusi.

Kalau anggaran terus-menerus habis buat belanja dan bonus pegawai, kapan anggaran buat rakyat? Bilaman program buat rakyat bisa terealisasi? Indonesia masih butuh banyak anggaran untuk mengatasi masalah pengangguran, stunting, pendidikan, kesehatan, dan ketimpangan infrastruktur. Jangan pula anggaran yang sudah cekak itu dihabiskan untuk menyervis mereka yang mestinya mengabdi untuk rakyat dan negara.

 

 

Mungkin Anda Menyukai