Relawan Konstitusi

SETIAP masa ada orangnya, setiap orang ada masanya. Itulah hukum besi kehidupan. Ungkapan lawas yang sering kita dengar sampai saat ini. Dalam konteks politik, tak ada kekuasaan yang abadi. Karena itu, konstitusi dibuat oleh para founding fathers untuk membatasi kekuasaan.

Restriksi kekuasaan tak hanya soal masa jabatan. Kekuasaan juga dibatasi agar jangan sampai menyeberang ke mana-mana. Restriksi koridor kekuasaan ini dikenal dengan trias politika yang dalam bahasa Yunani disebut ‘politik tiga serangkai’.

Konsep trias politika pertama kali dikumandangkan oleh John Locke, filsuf asal Inggris, yang kemudian dikembangkan oleh filsuf asal Prancis, Montesque, dalam bukunya yang berjudul L’Esprit de Lois. Dalam trias politika, kekuasaan dipisahkan menjadi eksekutif (pelaksana undang-undang), legislatif (pembuat undang-undang), dan yudikatif (kekuasaan kehakiman untuk mengadili atas pelanggaran undang-undang).

Di Indonesia, yang berlaku tidak hanya ketiga lembaga itu. Terdapat pula lembaga eksaminatif yang berfungsi untuk mengawasi keuangan negara, yakni Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Absolutisme kekuasaan sangat berbahaya karena bisa tergelincir pada penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Tak absolut pun kekuasaan bisa korup, apalagi kekuasaan yang memiliki kemutlakan, bisa mengontrol semua sendi kehidupan berbangsa dan bernegara dalam satu genggaman kekuasaan.

Cek Artikel:  Kisah para Om

Kekuasaan adalah candu yang bisa memabukkan. Tak sedikit orang yang sebelum menjabat dikenal baik-baik saja, sederhana, low profile, dan ndeso, tetapi ketika berkuasa perangainya tiba-tiba berubah menjadi ‘singa lapar’. Misalnya, menilap uang negara.

Pelaku rasuah di negeri ini muncul dari berbagai latar belakang, seperti aparat penegak hukum, menteri, kepala daerah, anggota DPR/DPRD, akademisi, pengusaha, dan bahkan tokoh agama.

Semangat rakyat untuk mengontrol kekuasaan belakangan ini menyala di penghujung kekuasaan Presiden Joko Widodo. Tingkat kepuasaan kinerja (approval rating) dari rakyat kepada Jokowi dari sejumlah lembaga survei, yang menunjukkan sangat tinggi (82%), tak mengurangi sikap kritis rakyat. Misalnya, wacana tiga periode masa jabatan Presiden Jokowi mendapat reaksi cukup keras dari berbagai kalangan karena bertentangan dengan UUD 1945. Akhirnya, wacana tersebut layu sebelum berkembang.

Approval rating ini membuat Presiden Jokowi percaya diri untuk memainkan jurus politiknya. Mantan Wali Kota Solo ini tampak ingin menjadi king maker, orang yang memiliki pengaruh besar untuk menentukan siapa yang akan terpilih sebagai pemimpin dalam Pemilu 2024.

Jokowi seperti melancarkan jurus ‘dua kaki’, yakni mendukung bakal calon presiden Ganjar Pranowo dan Prabowo Subianto.

Cek Artikel:  Spirit Muda

Approval rating yang tinggi ini membuat Jokowi terbius dan dengan berani mengatakan akan cawe-cawe dalam suksesi kepemimpinan nasional dengan alasan tak ingin pemimpin terpilih nanti gagal membawa Indonesia maju.

Meski mendapat approval rating yang tinggi, Jokowi masih sibuk merawat relawannya yang bernama Projo (Pro-Jokowi). Belakangan, relawan Projo mendukung Prabowo Subianto sebagai bacapres dalam Rakernas Projo. Selain itu, sejumlah relawan Projo sudah mendeklarasikan duet Prabowo-Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Jokowi, untuk menyambut putusan Mahkamah Konstitusi terkait gugatan batas usia capres/cawapres.

MK mengabulkan uji materi terhadap Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Mengertin 2017 tentang Pemilihan Standar terkait batas usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Negeri Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru. MK menyatakan batas usia capres-cawapres tetap 40 tahun, kecuali sudah berpengalaman sebagai kepala daerah.

Putusan lembaga yang disebut sebagai penjaga konstitusi itu kontroversial. Hakim konstitusi Saldi Isra mengungkapkan kejanggalan putusan lembaganya itu. Wakil Ketua MK ini mengaku bingung soal adanya penentuan perubahan keputusan MK dengan cepat. “Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” paparnya.

Musababnya, kata Saldi, pasal yang digugat terkait batas usia capres-cawapres disepakati sebelumnya oleh para hakim konstitusi sebagai open legal policy, yakni kebijakan umum terbuka pembentuk undang-undang alias bukan urusan MK.

Cek Artikel:  Persona Jakarta Nanti

Alhasil, sejumlah hakim MK seperti bersalin rupa menjadi relawan konstitusi yang memberikan pijakan hukum kepada Gibran untuk menjadi pendamping Prabowo.

Sebelumnya, Ketua MK Anwar Usman yang notabene adik ipar Jokowi menegaskan banyak pemimpin muda yang menjadi pemimpin saat ini. Salah satunya Perdana Menteri Inggris Rishi Sunak yang berusia 43 tahun. Pernyataan paman Gibran ini dinilai tidak etis karena MK sedang menguji batas usia capres/cawapres.

Menarik mencermati tulisan Saldi Isra di rubrik Opini Media Indonesia pada 7 November 2002 yang berjudul ‘Mahkamah Konstitusi, Masalah atau Solusi?’. Menurutnya, kerumitan dalam menyusun RUU MK telah dimulai dari kesemrawutan yang ada di tingkat konstitusi. “Artinya, harapan MK untuk menjadi solusi akan berubah menjadi masalah baru,” kata Saldi yang juga dosen hukum tata negara Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Sumatra Barat. Kini, pak dosen yang sudah menjadi ‘wakil Tuhan di muka bumi’ itu dilanda kebingungan. Hakim saja bingung, apalagi rakyat!

Mungkin Anda Menyukai