Tanda Bahaya

APAKAH ekonomi kita baik-baik saja? Saya, kok, melihat sebaliknya. Eksis sinyal mengkhawatirkan dengan stabilitas ekonomi makro maupun kondisi ekonomi mikro kita. Di sisi makro, lampu kuning dinyalakan Bank Indonesia dengan menaikkan suku bunga acuan dari 5,75% menjadi 6%.

BI melihat ketidakpastian global masih sangat tinggi. Selain itu, tingkat inflasi yang dipicu oleh naiknya harga-harga, terutama harga kebutuhan pokok, mesti diredam dengan menaikkan suku bunga. Gejala merambatnya inflasi mulai terlihat, terutama oleh harga beras yang terus-terusan naik, enggan turun.

Di samping itu, ancaman inflasi juga dipicu oleh harga barang impor yang terkerek karena nilai tukar dolar terhadap rupiah yang terus melejit. Kemarin, 1 dolar Amerika Perkumpulan sudah setara dengan Rp15.860. Sudah dua pekan terakhir, rupiah terus rontok atas dolar AS dan berada di atas Rp15.600. Bila suku bunga tidak dinaikkan, bisa-bisa rupiah tembus lebih dari Rp16.000 per dolar AS.

Tapi, sampai kapan BI kuat menjaga rupiah dengan mengerek suku bunga? Kalau suku bunga terus naik, geliat ekonomi yang belum sepenuhnya terjadi akan kembali terhuyung. Pukulan bakal makin dirasakan banyak sektor. Alasan, ekspektasi sektor riil ialah BI menahan suku bunga di 5,75%.

Penyebab rupiah terus melemah tidak terlepas dari kecenderungan perilaku pasar keuangan ataupun investor yang lebih memilih memegang uang kertas dolar, alias fenomena cash is the king. Kecenderungan itu dipicu oleh terus bertahan tingginya suku bunga di negara-negara maju, khususnya kebijakan bank sentral Amerika Perkumpulan, The Federal Reserve atau The Fed.

Cek Artikel:  Guyon Waton

Pada saat bersamaan, pemerintah AS menaikkan suku bunga imbal hasil surat berharga negara bertenor jangka panjang. Tak hanya surat berharga yang bertenor 10 tahun yang dinaikkan imbal hasilnya, tapi juga yang bertenor 20 hingga 30 tahun. Akibatnya, aliran modal dari negara emerging market termasuk Indonesia berbondong-bondong keluar untuk pulang kampung ke AS.

Dari sisi makro, kelihatan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi kita kian kedodoran dari aspek kualitas. Pertumbuhan ekonomi di atas 5% belum melahirkan pemerataan yang signifikan. Pertumbuhan itu masih dinikmati lapisan kecil masyarakat yang diuntungkan karena menerima windfall atau durian runtuh tingginya harga komoditas.

Mayoritas rakyat justru kian tercekik oleh harga-harga kebutuhan pokok yang terus membubung. Dalam kurun waktu setahun, dari September 2022 ke September 2023, harga beras melonjak 13,78%, menyentuh rekor kenaikan harga beras tertinggi. Sialnya, walau harga beras naik, petani tetap gagal menikmati keuntungan dari naiknya harga tersebut karena para pedaganglah yang bisa mengotak-atik harga beras.

Cek Artikel:  Jeritan Kelaparan

Apalagi, setelah India menyetop keran ekspor beras ke seluruh negara demi mengamankan stok dalam negeri. Kondisi psikologis bakal munculnya ‘kelangkaan’ beras inilah yang memicu pasokan beras ditahan sehingga harga mahal. Bulog tidak cukup punya ‘nyali’ untuk menyerap beras petani di harga yang sudah ditentukan karena bisa merugi.

Jadi, yang tercekik harga beras bukan saja konsumen beras, melainkan juga petani produsen beras itu sendiri. Situasi perekonomian riil yang kian sulit dirasakan rakyat, terutama rakyat kecil, seperti ini sudah terjadi sejak awal tahun. Ketimpangan pendapatan, risiko memburuknya kualitas modal manusia (pendidikan dan kesehatan), dan ketimpangan gender muncul di mana-mana. Perekonomian memang berangsur membaik, tetapi pemulihannya timpang. Eksis yang naik dan ada yang turun seperti huruf K.

Mereka yang memiliki tabungan unggul. Tetapi, mereka yang tidak punya tabungan terpuruk. Data dari Survei Konsumen Bank Indonesia kuartal I 2023 menunjukkan penurunan porsi tabungan terhadap total pendapatan yang paling dalam terjadi pada kelompok pengeluaran Rp3 juta ke bawah. Sebaliknya, tabungan untuk kelompok menengah atas (pengeluaran Rp5 juta ke atas) justru meningkat.

Cek Artikel:  Kekalahan ini seperti Tato

Secara umum, proporsi pendapatan konsumen yang disimpan turun 2,1%, dari 17,7% pada April 2023 menjadi 15,6% pada Mei 2023. Seturut dengan itu, porsi utang terhadap pendapatan membengkak, dari 6,7% menjadi 7,6%. Itu artinya tabungan mengempis, utang mengembang.

Kondisi sebaliknya, berbagai upaya pemulihan ekonomi sejauh ini lebih banyak menguntungkan orang kaya. Data Lembaga Penjamin Simpanan mengonfirmasikan jumlah simpanan rekening di atas Rp5 miliar mencapai lebih dari Rp4.000 triliun. Tabungan orang kaya itu meningkat pesat, tumbuh 9,6% secara tahunan per Maret 2023. Sebaliknya, simpanan di bawah Rp100 juta hanya tumbuh 3,6%.

Nomor-angka statistik itu kiranya jadi panduan utama untuk menentukan mana pembangunan prioritas dan mana proyek-proyek yang bisa ditunda. Alasan, sinyal bahaya perekonomian kita terus menyala. Kombinasi guncangnya ekonomi makro dan mirisnya ekonomi mikro ialah problem ‘hari ini’ yang mesti diselesaikan ‘hari ini’. Tak cukup banyak waktu untuk membereskannya.

Kalau tidak lekas, kita bisa meratapi nasib seperti penggalan lirik lagu Blowing in the Wind karya Bob Dylan: How many deaths will it take till he knows, that too many people have died (Berapa banyak kematian yang dibutuhkan, sampai dia tahu, itu terlalu banyak).

Mungkin Anda Menyukai