Penumpukan Kekuasaan

HAKIM konstitusi Arief Hidayat kembali membuka tabir gelap dalam kehidupan bernegara. Arief bersama Saldi Isra, Wahiduddin Terdapatms, dan Suhartoyo ialah hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda dalam putusan kontroversial Mahkamah Konstitusi atau MK.

Putusan yang membolehkan usia minimal capres dan cawapres paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilu, termasuk pemilihan kepala daerah. 

Kali ini, Arief bahkan menuding terjadi penumpukan kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif di pihak tertentu. Kondisi yang dianggap lebih buruk daripada rezim Orde Baru.

Hakim konstitusi Arief memang tidak menyebutkan pihak yang dituding. Mungkin Arief khawatir terkena serangan balik seperti pasal penghinaan nama baik. Apalagi, Arief juga memiliki rekam jejak yang cukup kelam. Setidaknya, dia dua kali mendapatkan teguran lisan dari Dewan Kehormatan MK. Arief menjabat hakim konstitusi sejak 2013. Dia pernah menjabat sebagai ketua dari lembaga penjaga konstitusi. Arief  tentu memahami kalau hakim tidak boleh mengomentari putusan. Arief justru mengomentari kecenderungan sistem ketatanegaraan dan sistem bernegara yang sudah jauh dari keinginan Pembukaan UUD 1945. Sebuah tuduhan yang serius.

Cek Artikel:  Akhiri Manipulasi Demokrasi

Mungkin hakim konstitusi Arief berada di puncak kegalauan melihat karut-marut kehidupan bertata negara. Tamat melupakan kalau rezim Orde Baru dikenal sebagai pemerintah otoriter yang menjadikan kekuasaan eksekutif sebagai sentral. DPR dan lembaga peradilan cenderung menjadi perpanjangan tangan kekuasaan.

Di era rezim Joko Widodo, pembagian kekuasaan trias politika tetap berlangsung. Pemilu berjalan lima tahunan. Pergantian kepemimpinan juga dipastikan terjadi pada 2024.

Hanya, semua cenderung terjadi di atas kertas. Seperti diistilahkan dosen ilmu politik Universitas Airlangga Surabaya Airlangga Pribadi Kusman dan dosen ilmu hukum Universitas Brawijaya Malang Milda Istiqamah, pemerintahan Jokowi menunjukkan ciri-ciri despotisme baru dan berhasil menghentikan reformasi demi kepentingan kekuasaan oligarki atau keluarganya.

Sentimen publik menolak politik dinasti sudah menguar.Keberadaan politik dinasti dengan sejumlah prevelise yang diperoleh anak-anak Presiden, seperti Gibran Rakabuming Raka, Wali Kota Solo, yang diberikan jalan menjadi calon wakil presiden karena diduga dibantu sang paman, Ketua MK Anwar Usman, dan Kaesang Pangarep dalam sekejap menjadi Ketua Lazim Partai Solidaritas Indonesia, membuka kesadaran publik betapa tidak adilnya politik dinasti.

Cek Artikel:  Dinasti Tenggelamkan Independenitas

Munculnya politik dinasti tidak mendidik di saat anak muda bangsa ini dipacu untuk bekerja keras meraih impian. Bukan dengan jalan pintas atau simsalabim, tetapi dengan upaya yang menghargai proses, kerja keras, berprestasi, dan tidak mengakali hukum.

Budaya meritokrasi harus dihidupkan di semua lini. Seseorang menjadi terpandang bukan karena nasab (keturunan), tetapi karena teruji memiliki kompetensi.

Buat hakim konstitusi yang kerap bersuara vokal melalui pendapat hukumnya, seperti Arief Hidayat, Saldi Isra, dan hakim lainnya, pilihannya ada dua, mengubah kondisi yang tidak sehat di MK atau menanggalkan jubah kebesaran sebagai hakim yang mulia.

Mungkin Anda Menyukai