Fakta Tipu-Tipu Simulakra Baliho

PERJUANGAN bukan lagi sebagai pelaksanaan kata-kata sebagaimana yang dimaksudkan penyair WS Rendra. Ketika ini, di tahun politik, perjuangan ialah menjajakan kata-kata, menjual kata-kata.

Kata-kata yang dijual tentu saja tidak mewakili realitas seperti termaktub dalam makna perjuangan. Ia mewakili realitas tipu-tipu demi meraup suara dalam pemilu yang digelar pada 14 Februari 2024. Kata McGinnis, pemilih sesungguhnya melihat kandidat tidak berdasarkan realitas yang asli, tetapi dari sebuah proses kimiawi antara pemilih dan citra kandidat.

Eksis fenomena penjualan kata-kata secara terstruktur, sistematis, dan masif. Kata-kata bombastis dikemas manis dalam baliho. Sasaran baliho ialah anak-anak muda yang mengutamakan hasil ketimbang proses. Pelakunya ialah pemimpin yang mengejar hasil dengan mengkhianati proses, berpose tanda cinta.

Anak-anak muda menjadi sasaran baliho karena pemilu kali ini sejatinya menjadi pesta demokrasi anak muda. Generasi muda mendominasi daftar pemilih tetap Pemilu 2024 atau 52% dari 204,8 juta total jumlah pemilih. Sebanyak 33,6% pemilih ialah generasi milenial (kelahiran 1980 hingga 1994), dan 22,85% ialah pemilih dari generasi Z (kelahiran 1995 hingga 2000-an).

Cek Artikel:  Jokowi dan Kita

Baliho politik yang menjauhi realitas memanfaatkan era post-truth, era yang generasi mudanya mendewakan emosi ketimbang fakta. Ketika ini, di tahun politik, telah terjadi obesitas informasi. Masyarakat cenderung menelan informasi tanpa kunyah dengan cara cek fakta. Pesan dalam baliho bukan soal kebenaran, tapi pembenaran.

Harus tegas dikatakan bahwa baliho yang hanya menawarkan politik riang menjauhi fungsi partai sebagai sarana pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Stuart Sim mengungkapkan bahwa post-truth tidak hanya mengenai fenomena relativitas kebenaran yang diperdebatkan oleh masyarakat semata, tetapi ada suatu power yang berusaha menggiring opini masyarakat pada tujuan tertentu.

Opini masyarakat digiring melalui baliho untuk memilih pemimpin mekanik alias pemimpin karbitan, bukan pemimpin organik atau pemimpin alamiah. Baliho seperti itu, meminjam istilah Jean Baudrillard, disebut sebagai simulakra.

Simulakra didefinisikan sebagai konstruksi pikiran imajiner manusia atas realitas tanpa menghadirkan realitas itu sendiri secara esensial. Realitas digantikan dengan simbol. Gambaran pemimpin yang dihadirkan dalam simulakra baliho tidak ada rujukan dalam faktanya.

Cek Artikel:  Pensiunan Akbar

Tak ada rujukan fakta karena calon pemimpin muncul secara tiba-tiba. Eksis orang yang menjadi ketua umum hanya selang dua hari menjadi anggota partai politik. Eksis orang yang ikut kontestasi setelah digelar karpet merah lewat putusan Mahkamah Konstitusi yang menabrak etika dan moral.

Episode simulakra sedang berlangsung secara terstruktur dan masif dengan mengawinkan strategi politik dan teknologi pencitraan diri. Lembaga survei, misalnya, tanpa malu-malu lagi menampilkan diri sebagai konsultan politik.

Loyalp pekan diluncurkan hasil survei dari berbagai lembaga yang hasilnya berbeda secara signifikan satu sama lain. Perbedaan itu dimaknai sebagai hasil survei tergantung pada siapa yang bayar.

Teknologi pencitraan diri memanfaatkan kemajuan teknologi berbasis internet. Pengguna internet aktif saat ini ialah generasi muda. Mereka dapat berselancar bebas di internet hingga lebih dari delapan jam setiap hari.

Pencitraan diri calon pemimpin menyesaki atmosfer media sosial yang berbasis internet tersebut. Simulakra politik dimanfaatkan secara maksimal dalam pencitraan calon pemimpin dengan menguapkan kebenaran dan menghilangkan realitas. Gambaran calon pemimpin dibangun di atas fakta ilusif.

Cek Artikel:  Fenomena India

Industri media sosial membangun citra diri calon pemimpin melalui konstruksi realitas semu secara masif. Pemimpin muda karbitan dicoba untuk diasosiasikan dengan pemilih muda, partai yang dipimpinnya sebagai partai anak muda. Bangunan citra itu dilakukan oleh industri pendengung.

Sudah tiba waktunya bagi generasi muda untuk menjadi subjek dalam pemilu, tidak membuka ruang untuk dijadikan sebagai objek. Sebagai penentu kemenangan dalam Pemilu 2024, generasi muda hendaknya menjadi pemilih yang cerdas.

Pemilih cerdas tidak terbuai janji manis, tapi pepesan kosong dalam simulakra baliho. Pun tidak tersesat untuk mengasosiasikan diri dengan pemimpin muda karbitan.

Kiranya pemilih muda tidak tersesat saat berselancar di internet, tersesat dalam memilih dan memilah obesitas informasi. Internet dimanfaatkan untuk mencari kesejatian calon pemimpin negeri termasuk menentukan pilihan atas wakilnya di lembaga legislatif. Katakan tidak untuk calon pemimpin yang memainkan simulakra baliho di atas fakta tipu-tipu.

Mungkin Anda Menyukai