Petaka Deindustrialisasi

MENTERI Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengakui Indonesia dan negara lain di dunia telah mengalami deindustrialisasi. Penyebabnya ialah perkembangan digitalisasi dan industri jasa yang jauh lebih pesat ketimbang industri manufaktur.

Sri Mulyani yang merupakan salah satu menteri srikandi Jokowi di dua periode kepresidenan tersebut memperkuat penjelasan dari Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional RI/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) sebelumnya. Mereka sama-sama berbasiskan data Badan Pusat Stagnantik (BPS).

Deindustrialisasi ialah kondisi industri tidak dapat berperan sebagai basis pendorong utama perekonomian suatu negara. BPS mencatat kontribusi industri manufaktur terhadap PDB pada 2008 mencapai 27,8%. Hanya, setelah itu terjadi tren menurun. Mulai pada 2010 sebesar 22%, 2020 menjadi 19,8%, dan pada triwulan II tahun 2023 mencapai 18,25%.

Cek Artikel:  Silaturahim tanpa Bagi-Bagi Kekuasaan

Berdasarkan catatan BPS, kontribusi industri terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) nasional memang terus menurun. Selain kontribusi ke PDB, persoalan pertumbuhan ekonomi yang stagnan, peningkatan pekerja informal, dan pembengkakan utang negara, menjadi penanda deindustrialisasi.

Di masa pemerintahan Joko Widodo, pertumbuhan rata-rata stagnan di 5%. Pengangguran menurun, tetapi meningkatkan pekerja informal. Eksispun rasio utang negara terhadap PDB dari 2014 sebesar 24,68% menjadi 39,48% di akhir 2022. Dengan demikian, bagi ekonom Faisal Basri, Indonesia nyata-nyata sudah memasuki deindustrialisasi.

Pandangan itu berhadapan dengan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita yang berulang kali menepis analisis ataupun anggapan ancaman deindustrialisasi. Argumennya, kontribusi sektor manufaktur ke PDB masih tertinggi jika dibandingkan dengan sektor lainnya.

Agus memastikan industri masih tumbuh dengan baik dan berada di level ekspansi. Acuannya ialah Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur Indonesia dan Indeks Kepercayaan Industri (IKI).

Cek Artikel:  Rancangan Mentah Makan Siang Gratis

Bantah-membantah dalam hal deindustrialisasi sebenarnya bukan barang baru. Menteri Pertahanan Prabowo Subianto sebenarnya pernah mengingatkan gejala deindustrialisasi. Cermatnya pada 14 Januari 2019. Demi itu, Prabowo masih menjadi kompetitor Joko Widodo dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

Jusuf Kalla yang saat itu menjabat wakil presiden juga membantah Prabowo. Kalla mengungkapkan argumentasi yang sama dengan Agus Gumiwang, yakni industri masih berkontribusi tertinggi terhadap PDB jika dibandingkan dengan sektor lainnya.

Hanya, kali ini yang saling membantah sama-sama masih menjabat sebagai pembantu Presiden Joko Widodo. Sri Mulyani seakan mengungkapkan pil pahit adanya ancaman terhadap bangsa.

Akan tetapi, Sri Mulyani juga mengingatkan bahwa masalah deindustrialisasi sudah dan terus berlangsung di hampir 10 tahun kepemimpinan Jokowi. Berarti belum ada solusi jitu oleh pemerintah selama nyaris satu dekade terakhir.

Cek Artikel:  Berbesar Hati Terima Putusan MK

Upaya industrialisasi yang dijalankan pemerintah nyata-nyata belum mampu menjawab persoalan. Belum ada industri manufaktur unggulan yang lahir dari rezim ini.

Demi kurang dari setahun sisa masa pemerintahan saat ini, Sri Mulyani mengakui ancaman deindustrialisasi di Tanah Air. Dari pengakuan itu, semoga pemerintah mempersiapkan peta jalan industrialisasi secara komprehensif, tidak cuma menampilkan sifat defensif.

Publik tentu berharap rezim ini tidak meninggalkan masalah kalaupun belum memiliki legasi. Agar jangan sampai pemerintahan berikut berhadapan dengan bom waktu.

 

Mungkin Anda Menyukai