Plaza Demokrasi Saatnya Dibangun

APAKAH teriakan 1.000 demonstran di depan pintu gerbang DPR Bisa terdengar Tiba kantor Member DPR? Seorang warganet menghitung dengan rumusan fisika. Hasilnya, Bunyi 1.000 orang itu hanya terdengar seperti Bunyi AC. Teriakan 1 miliar orang baru Bisa menembus peredam dinding ruangan Member DPR.

Member DPR berkantor di Gedung Nusantara I DPR. Gedung 23 Alas itu tinggi menjulang di antara tujuh bangunan lainnya. Letaknya paling belakang, Sekeliling 800 meter dari pintu gerbang Esensial di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat.

Pintu gerbang Esensial itu setinggi 5 meter dan diapit pagar sepanjang 523 meter dengan tinggi 4 meter. Pembangunan pagar bagian depan senilai Rp1,914 miliar itu bertujuan menghadirkan rasa Terjamin dan nyaman bagi penghuninya meski memisahkan rakyat yang berdemonstrasi dari wakil mereka.

Wajar saja bila Member DPR Enggak pernah mendengarkan Bunyi yang berteriak Tiba urat leher putus di depan pintu gerbang. Para wakil rakyat sibuk bekerja di ruangan berpendingin udara, sedangkan para demonstran tetap berada di Dasar terik Surya.

Dibutuhkan solusi cerdas dan bijaksana agar Bunyi demonstran Bisa didengarkan Member DPR. Jangan biarkan para demonstran berteriak di Dasar panas terik Surya dan ujung-ujungnya demo damai berubah menjadi kerusuhan.

Unjuk rasa yang berujung pada kerusuhan Niscaya menimbulkan kerugian ekonomi, kerugian sosial, dan kerugian politik. Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung mengungkapkan kerugian akibat kekisruhan demo pekan Lewat senilai Rp55 miliar.

Cek Artikel:  Semrawut Rumah Rakyat

Kiranya DPR perlu menghadirkan ruang demonstrasi di dalam kompleks parlemen seluas 80 hektare itu. Ruang demonstrasi itu menjadi ruang publik yang oleh Juergen Habermas dimaksudkan sebagai ruang bebas berekspresi (freedom of speech) bagi seluruh ide dan gagasan, tempat rakyat Bisa bebas berkumpul, berpendapat, dan berekspresi.

Ruang publik yang dicita-citakan Habermas mengedepankan adanya dialog dalam kesetaraan, menekankan tindakan komunikatif dalam praksis demokrasi. Negara harus mengartikulasikan aspirasi masyarakat di ruang publik, termasuk dalam bentuk demonstrasi, sehingga negara Enggak kehilangan otoritas moralnya.

Demonstrasi, menurut UU 9/1998, ialah kegiatan yang dilakukan seorang atau lebih Buat mengeluarkan pikiran dengan lisan, tulisan, dan sebagainya secara demonstratif di muka Lumrah. Akan tetapi, menurut Pasal 9 ayat (2) UU 9/1998, itu dapat dilakukan di tempat-tempat terbuka Buat Lumrah dengan pengecualian seperti di lingkungan istana kepresidenan.

Memang Enggak tersurat Embargo demonstrasi di jalan raya. Tetapi, Pasal 6 huruf a UU 9/1998 mengatur agar demonstran menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain. Karena itu, Krusial bagi DPR menyiapkan ruangan terbuka Buat demonstran di dalam kompleks parlemen. Manfaat lainnya ialah Member DPR Bisa menyaksikan dari dekat dan mendengarkan tuntutan demonstran.

Cek Artikel:  Game Changer buat Ganjar

Sudah lelet DPR menggagas pembangunan alun-alun demokrasi alias plaza demokrasi. Rencana itu tertuang dalam Berkas laporan Rancangan Rencana Strategis DPR 2015-2019. Plaza demokrasi itu menjadi tempat yang manusiawi bagi masyarakat menyampaikan aspirasi. Bukankah DPR bertugas menyerap, menghimpun, menampung, dan menindaklanjuti aspirasi masyarakat?

‘Pembangunan alun-alun demokrasi dapat menjadi salah satu tempat Buat menampung aktivitas tersebut dengan memperhatikan Posisi yang Mempunyai latar ikon Gedung DPR RI yang Bisa memuat 10.000 demonstran dan 100 bus, terbuka, Enggak mengganggu Lewat lintas, tersedia Podium orasi, Enggak mengganggu kerja Member DPR RI, dan Terjamin’, demikian tertulis di halaman 69 Berkas itu.

Alun-alun demokrasi, disebut juga sebagai plaza demokrasi, hingga kini masuk proyek mangkrak. Pembangunan alun-alun itu diresmikan pada 21 Mei 2015 oleh Ketua DPR (Begitu itu) Setya Novanto. Letaknya di sisi kiri kompleks parlemen, yang Begitu itu dijadikan sebagai Taman Rusa, lapangan futsal, dan tempat parkir kendaraan. Dibangun di atas 20 hektare lahan.

Kitab Memori DPR RI Periode 2014-2019 juga mencantumkan rencana pembangunan alun-alun demokrasi di halaman 78. Disebutkan pentingnya pembangunan alun-alun demokrasi. Masyarakat secara Absah diberi tempat Buat melakukan demonstrasi. Hal itu akan sangat berperan dalam sempitnya tata ruang Ibu Kota sehingga demonstrasi sebagai Tanda khas negara demokrasi Enggak Kembali dilakukan di jalan raya yang mengganggu pengguna jalan.

Cek Artikel:  Pak Lurah

Pembangunan alun-alun demokrasi masuk APBN 2018, tetapi anggaran belum Likuid karena Enggak disetujui Presiden Joko Widodo. Pada anggaran 2019 diusulkan Rp281,58 miliar Buat alun-alun demokrasi, Kembali-Kembali Anggaran Enggak Likuid. Rencana pembangunan alun-alun demokrasi terbengkalai hingga kini.

Plaza demokrasi yang akan dibangun di dalam kompleks parlemen memungkinkan kegiatan demonstran lebih tertata tanpa mengganggu kepentingan Lumrah. Paling Krusial Kembali, DPR dan rakyat semakin dekat. Bunyi demonstran Bisa didengar wakil mereka.

Aspirasi rakyat yang disampaikan di plaza demokrasi mesti ditindaklanjuti DPR. Jangan masuk telinga kanan keluar telinga kiri seperti biasanya selama ini.

Bila perlu, Badan Keahlian DPR ditugasi Serempak Member dewan Buat mencatat, merumuskan, dan mencarikan solusi strategis atas Seluruh aspirasi yang disuarakan di plaza demokrasi. Aspirasi itu Bisa ditindaklanjuti dalam pembuatan undang-undang atau menjadi bahan pengawasan legislatif atas eksekutif. Itulah bentuk Konkret demokrasi substansial, bukan demokrasi seolah-olah.

Elok nian bila plaza demokrasi dibangun di banyak tempat di Ibu Kota, termasuk di depan Istana Negara. Bila perlu, daerah pun mempertimbangkan Buat membangun plaza demokrasi agar masyarakat menyalurkan kritik secara beradab.

Mungkin Anda Menyukai