Keabadian Mahaguru

IBARAT Kembang layu sebelum berkembang, itulah sikap Rektor Universitas Gadjah Mada 2002-2007 Profesor Sofian Effendi terkait dengan dugaan ijazah Palsu mantan Presiden Joko Widodo.

Pernyataannya yang membenarkan bahwa Presiden Ke-7 RI Mempunyai ijazah Palsu hanya berusia sehari setelah ditayangkan di sebuah kanal Youtube pada 16 Juli.

Keesokan harinya, mantan Kepala Badan Kepegawaian Negara Republik Indonesia dan komisioner Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) itu meralatnya. Berbalik arah.

Dia menyatakan sepakat dengan pernyataan Rektor UGM Prof Dr Ova Emilia pada 11 Oktober 2022 bahwa ijazah S-1 (strata satu) mantan Wali Kota Solo dan mantan Gubernur DKI itu Asal.

Belum Terang apa yang melatarbelakangi perubahan sikap 180 derajat Ahli kebijakan publik UGM itu. Publik Lagi menerka-nerka apa yang terjadi, apakah Eksis intimidasi terhadap sang profesor atau sang profesor mendapatkan bukti-bukti yang valid dari ‘Kampus Biru’ mengenai ijazah Bapak Wapres Gibran Rakabuming itu.

Perubahan sikap Sofian Effendi terasa janggal. Pasalnya, rekam jejak Sofian, Berkualitas sebagai guru besar maupun Begitu menjabat di pemerintahan, sangat Berkualitas. Di kalangan jurnalis, dia dikenal sebagai Ahli yang mudah dihubungi Buat dimintai pendapat soal kebijakan publik.

Turun gunungnya profesor yang berusia 80 tahun itu dalam keriuhan dugaan ijazah Palsu Jokowi diharapkan membawa titik terang dan dia siap Buat mempertanggungjawabkannya secara hukum.

Cek Artikel:  Wadah Tunggal

Kesiapan Buat menghadapi proses hukum ialah bagian dari sikap Kaum negara yang Berkualitas, terlebih dia seorang mahaguru, guru besar, atau profesor.

Integritas Guru Besar Ilmu Administrasi Negara UGM sejatinya menjadi teladan seorang guru besar yang ‘Asal’ di tengah inflasi guru besar, termasuk guru besar kehormatan di Tanah Air.

Integritas merupakan landasan moral yang sangat Krusial bagi seorang guru besar, Berkualitas dalam menjalankan tugas akademik maupun dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Di negeri ini, tak hanya obral komisaris BUMN, tapi juga obral jabatan guru besar sehingga kesakralan jabatan prestisius itu lenyap ditelan lembaran rupiah.

Sejumlah pihak bak mafioso dari kampus Tiba kementerian berkelindan Buat meloloskan seseorang yang Enggak memenuhi kualifikasi Lewat dipaksaakan meraih gelar guru besar.

Kasus dugaan rekayasa syarat-syarat permohonan guru besar yang dilakukan oleh 11 dosen Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat (ULM) Kalimantan Selatan pada Juni 2024 ialah salah satu contohnya. Akhirnya, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi menurunkan akreditasi ULM dari A ke C.

Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, guru besar atau profesor ialah jabatan fungsional tertinggi bagi dosen yang Lagi mengajar di lingkungan satuan pendidikan tinggi.

Cek Artikel:  Blok Rokan dalam Pangkuan

Pasal 49 pada UU tersebut menjelaskan bahwa guru besar bukan jabatan sembarangan. Bukan ujug-ujug karena tabur Duit, pejabat publik Berkualitas sipil maupun militer, atau pendekatan politis sehingga meraih jabatan bergengsi itu.

Pertama, menurut pasal itu, profesor merupakan jabatan akademik tertinggi pada satuan pendidikan tinggi yang mempunyai kewenangan membimbing calon doktor.

Kedua, profesor Mempunyai kewajiban Spesifik menulis Naskah dan karya ilmiah serta menyebarluaskan gagasannya Buat mencerahkan masyarakat.

Ketiga, profesor Mempunyai karya ilmiah atau karya monumental lain yang sangat istimewa dalam bidangnya dan mendapat pengakuan Global dapat diangkat menjadi profesor paripurna.

Sebagaimana laiknya guru sesuai dengan Pasal 10 ayat (1) UU No 14 Tahun 2005, seorang guru besar harus Mempunyai sederet kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial.

Negeri ini sudah banyak dirundung praktik lancung selain gelar profesor abal-abal, ijazah Palsu, dan berbagai kasus oplosan yang menyentuh hajat hidup orang banyak, seperti BBM dan beras.

Pemerintah dan aparat penegak hukum Enggak pernah serius mengusut tuntas kasus-kasus tersebut. Penegakan hukum tanpa Pengaruh jera, hanya kulitnya tanpa menyentuh aktor intelektual dan jaringan kejahatan dari hulu Tiba hilir di dalamnya.

Bagi pelaku pemberian gelar profesor abal-abal atau pemalsuan Arsip akademik lainnya sebenarnya sanksinya cukup keras. Tetapi, praktik di lapangan Lagi jauh panggang dari api, apalagi Apabila terkait dengan kekuasaan.

Cek Artikel:  Ngeyel Permanen

Menurut Pasal 67 (1) UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan yang memberikan ijazah, sertifikat kompetensi, gelar akademik, profesi, dan/atau vokasi tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling Pelan sepuluh tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

Guru besar atau profesor Mempunyai peran strategis dalam penguatan Tridarma Perguruan Tinggi, yakni pendidikan dan pengajaran, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat.

Tetapi, pembiaran terhadap fenomena profesor abal-abal merendahkan hingga ke titik nadir jabatan yang diidam-idamkan oleh kalangan dosen itu. Bila jabatan guru besar dicapai dengan Pikiran bulus, itu tentu akan memengaruhi kualitas mahasiswa yang diajar nantinya.

Demikian pula fenomena ‘guru besar kehormatan’ (honorary professor), meskipun merujuk pada Permendikbud-Ristek No 44 Tahun 2024 tentang Profesi, Karier, dan Pendapatan Dosen, realitasnya banyak menyimpang dari Pasal 42 pada peraturan tersebut.

Jabatan guru besar seperti Sofian Effendi boleh pensiun, tapi komitmen menjaga kejujuran dan keadilan tak boleh dimakan usia. Guru besar sejati ialah intelektual yang menggenggam nilai etis dan moral sepanjang hayat di kandung badan.

Seorang intelektual, kata Dwight D Eisenhower, negarawan AS, Enggak akan pernah mengatakan lebih daripada apa yang diketahuinya. Tabik!

Mungkin Anda Menyukai