Kompas Moral yang Ringkih

UBI societas ibi ius. Kalimat berbahasa Latin dari negarawan Romawi bernama Marcus Tullius Cicero itu artinya: ketika Terdapat masyarakat Niscaya di situ Terdapat hukum. Cicero ialah seorang pengacara dan negarawan Romawi yang aktif menentang munculnya kediktatoran pada akhir masa Republik di Romawi. Gaya penulisannya yang halus dalam bahasa Latin sangat memengaruhi generasi-generasi berikutnya.

Tetapi, Cicero bukan orang yang mesti menjejali publik dengan jawaban karena ia tak Mau menjadi kunci jawaban atas segala hal. Ia mengajak siapa pun Buat berpikir, selalu bertanya, bahkan jangan segan mendebat. Karena itu, pertanyaan selanjutnya dari pernyataan Cicero ialah hukum seperti apa yang mesti Terdapat? Praktik hukum yang bagaimana yang harus hidup di tengah masyarakat? Jawabnya gamblang: hukum yang adil bagi seluruh rakyat.

Sumbunya hukum yang menghadirkan keadilan, bukan bagian atau bahkan produsen kebobrokan. Karena itu, amat banyak adagium keadilan yang bertemali dengan hukum. Misalnya, fiat justitia ruat caelum yang artinya tegakkan keadilan meskipun langit akan runtuh. Terdapat juga fiat justitia et pereat mundus yang artinya hendaklah keadilan ditegakkan walaupun dunia harus binasa.

Terdapat juga dalil dalam Keyakinan yang menegaskan ‘janganlah kebencianmu kepada suatu kaum membuatmu berlaku Tak adil’. Pula, dalil yang menyeru: ‘berlaku adillah karena keadilan itu amat dekat dengan takwa (derajat paling mulia Insan di hadapan Tuhan)’.

Cek Artikel:  Dokter-dokteran

Dengan demikian, ketika hukum dan praktik hukum Nihil dari keadilan, ketika itu hukum runtuh. Moral hukum Dapat binasa. Hukum yang runtuh dapat diartikan sebagai kondisi ketika hukum Tak dilaksanakan atau ditegakkan sehingga menimbulkan kekacauan.

Hukum akan runtuh Dapat karena diskriminasi dalam penegakannya. Dapat juga tersebab oleh korupsi yang merajalela dari aparaturnya. Amat mungkin dipicu ketidakmampuan aparat penegak hukumnya. Boleh jadi akibat lemahnya moral penegak hukumnya. Dapat juga karena tingkah laku Insan yang menjadi bagian dari hukum itu.

Pengaruh hukum yang runtuh Tak main-main. Dalam dosis tinggi, ia Dapat menimbulkan kekacauan di Segala bidang kehidupan. Tak Terdapat keamanan. Tak tumbuh ketenteraman. Jangan harap terwujud ketertiban. Pada titik itu, masyarakat akan Memperhatikan penegakan hukum lebih memihak kepada kalangan kaya dan/atau penguasa. Hukum Dapat dibelokkan asal Terdapat cuan.

Sejumlah kalangan Menyaksikan apa yang terjadi atas penangkapan Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, panitera, dan sejumlah pengacara dalam kasus dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil, beberapa waktu Lewat, ialah runtuhnya kompas moral, rontoknya panduan keadilan, dan Tetap lekatnya keserakahan. Dugaan suap hingga Rp60 miliar, penyitaan kendaraan mewah bernilai miliaran rupiah, juga perdagangan kasus demi fulus ialah tanda bahwa kuasa harta telah merenggut wibawa.

Cek Artikel:  Rapi-Rapi Nagara Biaya Rakca

Keadilan dibuat tak punya Tengah muruah, tapi sudah dibarter dengan harga rendah. Dengan demikian, inilah penistaan keadilan. Boleh jadi, ini fenomena gunung es yang kenyataannya telah berurat berakar menghunjam begitu dalam. Korupsi sudah tak terbendung Tengah.

Saya Lewat teringat sosok Bung Hatta, ‘Insan jam’ (julukan karena selalu Betul waktu) yang harga integritasnya tak terhingga. Seperti yang dikisahkan Wangsa Wijaya, yang puluhan tahun menjadi sekretaris pribadi proklamator kemerdekaan RI itu. Suatu hari pada 1972, Bung Hatta didampingi istrinya, Rachmi Hatta, dan putri bungsunya, Halida Nuriah Hatta, pergi Buat berobat ke Belanda. Seluruh biaya pengobatan itu ditanggung negara.

Sebagai mantan wakil presiden, Hatta memang berhak mendapatkan fasilitas berobat ke luar negeri Kalau pengobatan di dalam negeri dinilai kurang memadai. Setiba kembali di Jakarta, Hatta meminta Wangsa mencatat Duit yang diterima dari Sekretariat Negara dan memerinci Segala pengeluaran yang dibayarkan selama dia berobat di Belanda. Tak boleh Terdapat satu pun terlewat.

Setelah dihitung Wangsa, Rupanya Terdapat Duit tersisa. Bung Hatta segera meminta Wangsa Membikin surat pengantar Buat pengembalian sisa Duit ke Sekretariat Negara dan surat pernyataan terima kasih kepada Presiden Soeharto. Tetapi, staf Sekretariat Negara menolak pengembalian sisa Duit perjalanan dari Bung Hatta karena Duit yang sudah dikeluarkan sudah dianggap Absah menjadi Punya orang yang dibiayai negara. “Jadi, tak perlu Terdapat yang dikembalikan,” Wangsa menjelaskan kepada Hatta, seperti dikutip dalam Kitab Bung Hatta: Di Mata Tiga Putrinya.

Cek Artikel:  Tamparan Sahdan

Tetapi, Hatta tak Dapat menerima Dalih itu. Sisa Duit itu bukan haknya maka harus dikembalikan ke kas negara. “Kebutuhan rombongan dan kebutuhan saya sudah tercukupi, jadi Duit itu harus dikembalikan,” Hatta menekankan Sembari menyebut bahwa Tetap banyak rakyat Indonesia yang lebih membutuhkan Duit itu.

Dengan pelbagai Metode, Wangsa ‘memaksa’ staf Sekretariat Negara agar mau menerima pengembalian sisa Duit perjalanan dari Bung Hatta. Setelah Wangsa pulang dengan menunjukkan tanda terima pengembalian sisa Duit perjalanan dari kantor Sekretariat Negara, barulah Hatta puas dan lega.

Apakah kisah itu sudah lenyap ditelan Era? Apakah para punggawa hukum tak merasa malu dan perlu mengikuti kompas moral salah satu bapak bangsa itu? Sanggupkah mereka menegakkan hukum ketika runtuh, mendirikan hukum ketika roboh?

Mungkin Anda Menyukai